Header Ads

ad728
  • Sekilas Berita

    REVENGE

    Tuk tuk tuk tuk
    Bunyi peraduan alas sepatu dengan keramik lantai itu membuat manusia yang ada di sekitarnya menoleh, menatap sinis sang pemilik sepatu. Yang ditatap seperti itu hanya bisa memamerkan senyum kecutnya sembari mengeluarkan benda berukuran segenggam tangan dari saku kemejanya.
    Hah, kebiasaan anak gadis jaman sekarang adalah bergulat kecil dengan cermin plus bedak padat yang warnanya kontras dengan warna kulit.
    "Cabe, udah terima takdir aja sijh! Muka dekil lo itu biarpun ditimpa seratus lapis bedak juga gak bakal glowing." cibiran sinis Karin hanya ditanggapi lirikan tajam oleh Amarys, sang gadis yang sangat akrab dengan bedak dan cermin itu.
    Karin tersenyum meremehkan, lagi-lagi gadis itu tak mau berdebat panjang seperti yang dilakukan gadis kebanyakan. Karin berspekulasi gamblang, menarik kesimpulan bahwa Amarys takut berhadapan dengannya.
    Tapi salah besar. Amarys melewatkan perdebatan dengan Karin karena tak mau membuang waktu satu detikpun untuk bertemu dengan seseorang. Sebut saja Gerald. Bukan, Gerald bukan sahabat apalagi pacar Amarys. Dia tak lebih dari seorang teman yang menjadi perantara Amarys akan terhubung dengan makhluk seberang alam.
    Ya, Gerald bisa membuat siapapun terhubung bahkan bisa membuat seseorang berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata.
    Yap! Gerald punya kemampuan membuka mata batin seseorang. Haha, bisa dibilang dia paranormal muda.
    Langkah Amarys terhenti ketika sampai ke taman belakang sekolah yang sama sekali tak ada tanda kehidupan, benar-benar tempat tak tersentuh.
    "Gerald!" panggil Amarys membuat cowok kekar beraura gelap di depannya tersentak dan menoleh dengan mata menatap ke arah lain.

    "Kamu yakin, mau ngelakuin itu?" ucap Gerald dengan netra lurus ke depan, enggan menatap Amarys barang seinci pun.
    "Gue yakin." Amarys menjawab penuh keyakinan.
    Gerald menyunggingkan senyum remeh, "Tak semudah apa yang ada di pikiranmu sekarang." ucapnya membaca isi otak Amarys.
    "Gue cuma mau buka mata batin doang, bukan mata hati gue! Apanya yang susah sih?" balas Amarys mendesak Gerald.
    "Kalau menurutmu mudah, lakukan saja sendiri."
    Amarys terdiam, dia kalah telak. "Ya-ya gue kan cuma nanya, letak susahnya dimana?"
    Gerald tersenyum miring. Lagi. "Membukanya memang mudah, tapi apa kamu yakin akan kuat melihat mereka sepanjang hidupmu?"
    Amarys membelalak. "Ma-maksudnya?"
    "Kamu harus menerima kehadiran mereka setiap hari tanpa kau undang, seumur hidupmu, apa kamu yakin tidak akan takut?" jelas Gerald diakhiri senyum misterius.
    Amarys berpikir sejenak. Terdengar agak menakutkan, tapi demi mengejar tujuannya dia harus melakukan ini. Apapun resikonya.
    "Gak, gue gak takut dan gak bakal takut!" Amarys sangat yakin dengan apa yang ia ucapkan saat ini. Tak ada lagi yang mampu menghalanginya mencapai tujuan, inilah jalan terbaik yang ia harus tempuh.
    Gerald berjalan mendekat, tersenyum tipis sesaat dan mulai berani menatap Amarys.
    Urat nadinya tiba-tiba menonjol di bawah kulit tangannya. Tanpa banyak bicara, Gerald meletakkan tangannya di ubun-ubun Amarys.
    Angin tanpa arah yang jelas mengumpul meniupi tengkuk Amarys.
    Anehnya, Amarys tertawa kencang seolah digelitiki oleh seseorang.
    "AGHHHHHH!" Gerald melepas telapak tangannya dari ubun-ubun Amarys dan terjatuh lemas.
    Amarys masih terpejam, tangannya gemetar dan mengarah keatas. Gerald membelalak, kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

    Lidah gadis itu melorot keluar hingga mencapai lehernya. Matanya kehilangan bagian putihnya dan berputar 360 derajat. Detik kemudian, mata Amarys terpejam dan lidahnya kembali masuk ke dalam mulutnya.
    "Udah?" tanya Amarys saat semuanya kembali normal.
    Gerald hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi.
    "Lihat ke belakang." perintah Gerald yang langsung dilaksanakan oleh Amarys tanpa protes.
    "Arghhh!" Amarys refleks memejamkan mata ketika melihat sesosok makhluk dengan bola mata kiri merosok ke dalam sementara bola mata kanannya hendak jatuh keluar.
    "Takut ya?" tanya makhluk itu mengulas senyum di bibirnya yang robek.
    "Kamu yang mau lihat aku kan? Bukan cuma aku aja yang mau kamu lihat, teman-temanku juga mau menunjukkan dirinya ke kamu, mereka malu kayaknya mungkin besok, tunggu ya." Mulut makhluk itu tak berbentuk namun anehnya sangat lancar berbicara layaknya manusia di dunia nyata.
    "Aku gak minta kamu muncul sekarang, aku cuma butuh kamu untuk membantuku membunuh seseorang!" bentak Amarys enggan membuka matanya. "Gerald! Lo dimana?" Amarys takut berhadapan sendirian dengan makhluk ini, bahkan ia merasa di sekitarnya ada puluhan makhluk yang beda rupa dengan yang ada di depannya sekarang. Mengerikan.
    "Dia sudah pergi. Tadi kamu bilang apa? Membunuh?"
    "YA! AKU INGIN MEMBUNUH! MEMBUNUH ADIKKU!" lantang Amarys meledakkan emosinya di depan makhluk itu.
    "Apa itu tidak terlalu kejam?" makhluk itu memperbaiki posisi matanya yang hendak terjatuh ketika menatap wajah polos Amarys yang ternyata menyimpan aura jahat di dalamnya.
    "DIA YANG KEJAM! SEMUANYA DIREBUT DARIKU! KASIH SAYANG, PERHATIAN, BAHKAN MASA DEPANKU SEMUANYA DIAMBIL! AKU INGIN MEMBUNUHNYA DENGAN CARA YANG SANGAT KEJAM HINGGA DARAH DITUBUHNYA BERHENTI MENETES!"
    Amarys berteriak begitu kencang. Tak peduli ada orang yang mendengarnya atau tidak. Dia begitu tersakiti, hingga berani ingin menyakiti. Berperilaku sedikit adil akan membantunya hidup bahagia. Jika adiknya merebut segalanya, maka ia akan mencabut segalanya. Sekalipun itu nyawa.
    Amarys telah gila, pikirannya tak lagi utuh. Dari Amarys yang ceria berubah menjadi Amarys yang kejam.
    "Baiklah, malam ini akan kubantu." Makhluk itu menghilang dari hadapan Amarys seketika.

    Amarys menatap langit, mencoba tersenyum meski itu adalah senyum kejam.  Sebetulnya adiknya yang lebih dahulu membunuhnya. Adiknya telah membunuh jiwa Amarys bukan raganya. Tapi lihat saja, Amarys akan membunuh keduanya, jiwa dan raga sekaligus.
    Inilah pembalasan yang sesungguhnya. Dari Amarys yang menjelma menjadi iblis.

    ********

    Drap drap drap...
    Amarys memgontrol langkahnya sepelan mungkin, berusaha bergerak bagai angin yang  ada namun tak terlihat. Pisau runcing ditangannya mengarah ke depan, seolah menjadi tameng perang.
    "Apa yang akan kau lakukan?" bisik makhluk itu terbang di samping telinga Amarys.
    "Kamu mau membantuku kan?" Amarys justru membalas dengan pertanyaan.
    "Tergantung."
    Amarys mendecih, "Apa pun yang kukatakan, kamu harus melakukannya."
    Makhluk itu tertawa kecil, gadis yang keras kepala ternyata.
    "Masuk dan racuni jiwaku, bukan hanya kamu saja. Kamu bebas mengajak arwah siapapun masuk ke dalam jiwaku. Cepat! Sebelum bedebah itu bangun!" titah Amarys membuat bola mata makhluk itu terjatuh karena terkejut.
    "Kamu tak takut dengan resikonya?"
    "Tidak, sama sekali." Amarys menjawab dengan nada sombong.
    "Sesuai keinginanmu...." Makhluk itu menghilang sejenak. Amarys mendecih, entah apa yang akan dilakukan makhluk itu, ia tak peduli.
    "Anak manis....kami datang," bisik makhluk besar berkaki panjang dengan lidah menjuntai ke lantai.
    Amarys tersenyum kecil, matanya diselimuti kebencian hingga makhluk yang mampu membuat manusia normal pingsan seketika tak membuatnya bergidik sedikitpun.

    Ada puluhan arwah yang haus darah di ruangan ini. Tak ada yang mengerikan di mata Amarys.
    Ya...hanya ada makhluk dengan usus melilit sepanjang leher dan otaknya terpotong setengah, ada juga yang puncak kepalanya berbentuk seperti kawah berisi darah. Bahkan ada kepala tanpa tubuh yang terbang bebas dan sesekali tertawa jahat.
    "Kalian semua terlihat lucu," ujar Amarys dengan suara manisnya.
    "Cepat, masuklah." Amarys merentangkan tangannya lebar-lebar bermaksud memberi akses bebas ke semua makhluk untuk menyatu dengan jiwanya.
    Satu persatu makhluk terbang melingkar tak tentu arah lalu menghilang menyisakan Amarys yang kini menuduk rapat dengan punggung bergetar.
    "HAHAHAHAHHA!" Amarys tertawa kejam, menorehkan pisau pipinya tanpa menghentikan tawanya. Darah mengucur dari sana dengan deras.
    Dengan nada tawa dan derap langkah yang sama, Amarys mendekat ke arah kamar adiknya yang tak terkunci.
    "Poppy, kakak ajak main mau kan?" nada suara Amarys sedikit melembut meski aura wajahnya hanya menampakkan keberingasan.
    Amarys mengubah posisi pisaunya, memegangnya dengan gaya khas psikopat.
    "AAAAAAAAAA!" Amarys berteriak kencang saat berhasil menusuk perut adiknya hingga darah mencuat bagai air mancur. Poppy sempat melawan sebelum akhirnya berakhir mengenaskan.
    Srekkkk!
    Amarys menarik pisau itu kebawah hingga perut adiknya robek dan memporak-porandakan ususnya di dalam sana. Amarys tertawa hingga air matanya keluar berbaur dengan darah di pipinya tadi. Adiknya benar-benar tamat sekarang. Hah! Tinggal ada dua orang yang harus ikut mati bersama adiknya.
    Tapi tunggu, Amarys masih ingin bermain dengan usus Poppy. Ditariknya benda panjang itu hingga putus. Amarys tertawa geli dan melirik tajam ke arah wajah adiknya.
    "Poppy cantik, akan kuubah sedikit bentuk wajahmu." Pisau Amarys mengarah ke bawah, tepat di depan hidung Poppy.
    Crat crat crat!
    Amarys memotong hidung mancung Poppy dan menusuk-nusukkan pisaunya di sekitar pipi dan rahang bawah gadis malang itu. Benar-benar kejam.
    "Sekarang, sempurna!" Amarys mencabut pisaunya dengan sekali tarikan hingga semua darah Poppy mengenai sebagian wajah dan bajunya.
    "Anak nakal, kamu mengotori bajuku! Akan kuberi kau hadiah besar!" Amarys kembali menancapkan pisau ke area dada kiri. Amarys tertawa kencang mengobrak-abrik jantung Poppy hingga sedikit bagiannya mencuat keluar.
    "Selesai." Amarys melompat menuruni ranjang Poppy.
    Gadis itu berjalan pelan keluar kamar menuju kamar orang tuanya. Senyum misterius tersungging di kedua sudut bibir yang kini dipenuhi bercak kemerahan.
    Kriettt...
    Amarys mendorong perlahan pintu kamar orang tuanya. Pupilnya melebar tanda haus akan darah, perlahan lidah Amarys bergerak menjilat bagian bawah bibirnya yang dipenuhi darah.
    Dengan senyum cerah, kakinya melangkah tanpa suara, tangannya menggenggam erat pisau runcing itu. Dalam kegelapan, Amarys mampu melijat dengan jelas kedua orang tuanya yang terlelap dengan tentram. Wajah tenang itu....hah!
    Amarys tak peduli, otaknya dipenuhi dendam. Kedua orang yang melahirkannya justru memalingkan wajah darinya, tak peduli tangis  dan luka yang menyerang Amarys bahkan tersenyum kepadanya pun adalah sesuatu yang langka. Amarys tahu, di dunia ini anaknya hanyalah Poppy, dan dia hanyalah anak yang menumpang lahir di rahim ibunya.
    Amarys berdiri lama di hadapan mereka, air mata perlahan turun dari lubuk netranya.
    Seolah berada di dalam mesin waktu, Amarys mengingat kebejatan kedua manusia yang melahirkannya itu.
    Flashback on.
    "Poppy sayang, kamu kenapa?" Febby merengkuh tubuh kecil anaknya yang menangis dengan wajah cemas.
    "Takit...kakak nyubit aku," eluh Poppy dengan suara cadelnya menunjuk ke arah Amarys yang tertunduk tanpa suara.
    "Setan," umpat Febby dengan tatapan menusuk ke arah Amarys.
    "Dia yang mukul aku duluan," cicit Amarys mencoba membela dirinya.
    "Memang pantas, kamu hanya sibuk bermain sendiri! Sampah!" Febby melewati Amarys yang tertunduk pilu sembari menggendong Poppy dengan sayang.

    Detik itu juga, Amary mengumpat untuk pertama kalinya. Ia ingin mengubah diri menjadi anak yang lebih terbuka dan tidak egois. Ia tak mau lagi mendengar kata 'Sampah tak berguna' dari Febby, Mamanya.
    Tapi nihil, di usianya yang ke-17 tahun sekarang ini tak ada tanda perubahan apapun dari orang tuanya bahkan setelah Amarys mengubah dirinya.
    Kasih sayang mereka masih sama, jika diibaratkan dengan sebuah kue donat, maka Poppy mendapat bagian tepinya yang berisi. Dan Amarys lah yang mendapat bagian tengahnya yang tentu saja kosong. Memilukan.
    Kalian tahu? Setiap hari kuping Amarys pengang dengan kata 'Setan' yang dilontarkan Mamanya.
    Apapun yang Amarys katakan, tak akan pernah benar di mata mereka. Sebaliknya, jika Poppy yang berkata, maka kebenaran selalu ada di dalam kalimatnya. Sekali lagi, sungguh memilukan.
    Karena kata 'Setan' mamanya, Amarys justru ingin menjadi bagian dari kata itu. Tak peduli bagaimana pun caranya, ia akan berubah menjadi kejam. Amarys paham, sisi baiknya tak akan pernah berarti hanya menjadi sampah di mata orang. Baiklah, orang tuanya sendiri yang telah memaksanya merubah diri.
    Sampai ketika Amarys mendengar rumor yang mengatakan ada seorang anak yang bisa membuka mata batin seseorang. Ya! Dialah Gerald.
    Amarys berusaha mendekati Gerald, dengan satu tujuan. Dia harus bisa membuka mata batinnya apapun resikonya.
    Berhasil!
    Amarys bisa melihat apa yang sebelumnya tidak pernah ia lihat. Dengan gilanya, Amarys memanfaatkan mereka untuk membantunya menghabisi semua orang yang telah memaksa jiwanya berubah 360 derajat.
    Sedikit menarik. Kata 'membunuh' terbang bebas di pikirannya. Baiklah, Amarys merasa tertantang dengan kata itu.
    Baiklah....
    Selamat datang di dunia kelam yang Amarys ciptakan.
    Flashback off.

    Amarys memutus ingatannya dengan sekaan air mata kasar. Tangannya menggenggam pisau itu dan memegangnya seperti saat ia ingin membunuh Poppy.
    Ini akan sedikit berat, membunuh dua orang bisa saja membuat salah seorang diantaranya terbangun dan melakukan perlawanan. Amarys harus berpikir dengan cepat. Ya, dia akan
    melakukannya.
    Mungkin dua pisau akan membuatnya lebih mudah menghabisi nyawa mereka.
    Tapi di saat seperti ini dimana ia akan mendapatkan sebuah pisau?
    Mata elangnya bergerak bagai radar, menelusuri benda-benda yang diterpa secercah cahaya bulan dari jendela kamar yang entah apa alasannya dibiarkan terbuka.
    Amarys melirik ke arah semangkuk kaca besar buah-buahan lengkap dengan pisau. Untunglah, cahaya bulan memantul di atas kaca hingga terlihat jelas di mata bulat Amarys.
    Tanpa berpikir panjang, Amarys meraih pisau itu dan memulai aksi jahannamnya.
    Dengan bantuan makhluk yang menguasai jiwanya, Amarys melompat tinggi ke arah kasur dan pisau ditangannya otomatis menancap ke dada kiri kedua orang tuanya.
    Crat!
    Darah segar muncrat mengenai wajah Amarys. Febby dan suaminya hanya bisa membelalak tanpa suara dengan mulut terbuka lalu berakhir menyisakan raga tak bernyawa.
    Amarys tertawa kejam. Dengan liar ditariknya ke bawah pisau yang masih menancap itu seperti gerakan seseorang yang membuka resletting baju. Walhasil, organ tubuh mereka tumpah keluar bersama darah.
    Amarys mengakhiri aksinya dengan tancapan pisau di wajah ayah dan ibunya.
    Lagi-lagi darah memenuhi wajah Amarys hingga bau amis menyengat menyeruak memenuhi atmosfer lembab rumah besar itu.
    Bau darah dari kamar Poppy juga sepertinya telah tercium. Bagi Amarys, aroma ini sama saja dengan aroma petrichor yang menenangkan. Buktinya perasaannya jauh jauh jauh lebih tenang karena tujuannya telah tercapai.
    Amarys beranjak turun dari ranjang orang tuanya dan menunduk dalam menyuruh semua makhluk keluar dari tubuhnya.
    Bayangan gelap mengepul keluar dari dalam mulut Amarys, semua makhluk lucu itu telah keluar. Tapi aneh, tak ada satupun yang menampakkan diri.
    "Dimana kalian?" Amarys menatap sekeliling, tak ada tanda-tanda kehadiran mereka di sini.
    "Hai!" makhluk bermulut robek yang menjadi sahabat pertama Amarys itu menampakkan diri di tepat di depan mata Amarys.
    Amarys tersenyum sinis.
    "Yang aku lakukan tadi hebat kan?" tanya Amarys sombong.
    Makhluk itu menggeleng, "Bukan kamu, akulah yang menggerakkan tanganmu."
    "Akulah yang melakukannya! Kamu sama sekali tak ada gunanya! Kalian hanya membuat tubuhku sesak saja! Sekarang, pergilah, aku tidak membutuhkanmu!" bentak Amarys berteriak kencang.
    Makhluk bermulut rombeng itu geram. Susah payah dia mengarahkan seluruh makhluk menggerakkan tubuh Amarys dan merasuki otaknya, tapi begini balasannya? Bahkan, ucapan terima kasih tak pernah diucapkan gadis yang lebih jahat dari setan itu.
    Amarys hanya tertawa kejam. Tanpa sepatah kata pun.
    Makhluk itu melesat cepat ke arah Amarys, merampas pisau yang ia genggam dan...
    CRATTTTTTT!
    Makhluk itu membelah kepala Amarys menjadi dua.
    Kini, usailah kisah Amarys sang anak yang lebih kejam dari iblis. Dia menghabisi nyawa dengan bantuan setan. Tapi apa yang ia dapat?
    Dia justru menyerahkan nyawanya secara tak langsung kepada iblis yang membantunya hanya karena dibutakan oleh kekejaman dan kesombongan.
    Tapi ingat, biarpun Amarys tak lagi hidup di dunia nyata sebagai manusia, dia masih bisa terus membunuh dengan wujud lain,
    Ya! Dengan wujud 'setan' yang sesungguhnya.
    Berhati-hatilah, Amarys bisa saja ada dimana-mana. Selama bumi masih berputar diperedarannya, ia takkan berhenti membunuh!
    Nyawa, darah, organ yang terobrak-abrik adalah hal yang paling ia sukai.
    Hushhhh....
    Jangan ceritakan apapun soal dia, atau dia akan...
    Ya! Datang dan mengajakmu bermain dengan pisau runcingnya.

    -TAMAT-



    Biodata penulis:
    Nama                              : Fila Maharani
    Kelas                               : X MIA Khusus
    Tempat,tanggal lahir   : Anabanua, 18 Januari 2004
    Cita                                  : Sutradara
    Hobi                                : Menulis

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728