Sepotong Narasi Untuk Sukma Kehidupan
Seketika hatiku meringis melihat ratapan bumiputra kian tersungkur ke dalam belenggu nafsu yang tak kunjung sedia. Akhir-akhir ini, kau diguncangkan dengan berbagai macam perkara yang menuai banyak kontroversi. Masing-masing jiwa serasa ingin menjadi yang paling utama. Ku tahu dirimu sebenarnya kesakitan ketika mereka saling berbantah di atas bumi-mu. Entah apa yang mereka pikirkan. Aku hanya berhasrat mereka lekas sadar dan tau bahwa dirimu pantas untuk digugah. Tulisku dalam secarik kertas sambil menerawang apa yang akan terjadi dikemudian hari.
Setiap malam, aku menyilau suasana kota yang tak henti-hentinya menyajikan panorama yang fotogenik. Semua terasa baik-baik saja. Namun, mereka tidak pernah memedulikan bahwa ada jiwa yang terkekang di balik kolong jembatan, “miris!!” ucapku kemudian menuju ke tempat tidur.
Di kampus, hampir setiap hari aku selalu disuguhkan dengan persoalan yang runyam. Mulai dari asmara, keluarga, persahabatan, dan lain-lain.
“Kak kak, emangnya ibu kita itu wataknya keras ya kak?”, tanya salah satu juniorku.
“Gak tau”, jawabku dengan singkat.
Aku sempat tersuntuk dengan mereka, memangnya anak psikologi adalah peramal?. Entahlah, semuanya akan terjawab dengan sendirinya.
Sebenarnya jurusan ini adalah pilihan orang tuaku. Itulah mengapa sudah 4 semester aku menjawat sebagai anak psikologi namun sampai sekarang aku belum piawai memahami karakter setiap orang. Aku lebih suka berangan-angan namun tak bisa kuwujudkan, lebih suka mengkritik namun sikapku acuh tak acuh sehingga tak banyak orang yang mau berteman denganku.
Suatu ketika aku sedang berjalan di taman dan tidak sengaja dilempari gulungan kertas.
“adduh....siapa itu?”, tanyaku sambil melirik kiri kanan
Namun, tak ada seorangpun yang menjawab. Aku risih dengan manusia, di tempat yang damai sekalipun mereka masih menyulutkan berbagai masalah yang tidak ada habisnya. Akupun mengambil gulungan kertas tersebut dan ternyata terdapat tulisan di dalamnya. Dengan wajah penasaran, aku kemudian duduk lalu membacanya.
“Wonderful Muslimah, merekatkan cinta dalam dekapan ukhuwah. Sabtu, 24 Maret 2018 di Masjid Raya Darussalam.”
Awalnya aku tertarik. Namun, melihat temanku yang sebagian besar berubah menjadi ibu-ibu setelah kajian tersebut jadi aku memutuskan untuk tidak ikut bergabung.
“Apaan sih, silaturahmikan tidak selamanya harus melalui kajian. Di hp jauh lebih baik kok daripada kegiatan yang tidak bermanfaat itu dan hanya membuang-buang waktu saja”, lirihku dalam hati sambil membuang gulungan kertas tersebut.
Aku lahir dari keluarga sederhana, tak banyak yang bisa kukisahkan dari mereka. Semuanya sama saja, egois dan jarang memerhatikanku. Untung saja aku orangnya apatis, tidak suka bergaul dengan orang lain dan lebih suka menyendiri hingga suatu ketika aku tidak betah lagi dengan limitasi yang terus mengusikku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Semua karena mereka, kalau saja mereka simpati kepadaku mungkin hal ini bisa saja tidak akan terjadi.
Walaupun sebenarnya tidak sudi meninggalkan mereka, namun aku terpaksa melakukan ini supaya mereka tau bahwa aku butuh perhatian.
Seperti ikan kena tuba, aku merasa sudah tidak berdaya lagi. Sepanjang perjalanan, yang kupikirkan hanyalah nasib insan-insan yang entah sampai kapan harus mendekam pada pahitnya roda kehidupan. Aku patut bersyukur dengan yang kumiliki sekarang namun aku menyia-nyiakan hal tersebut.
Langkah demi langkah akhirnya aku sampai di sebuah Masjid yang lumayan jauh dari rumah. Aku masuk ke dalam dan ternyata,
“Kok aku bisa sampai disini sih?” tanyaku sambil berbalik badan keluar dari masjid.
“Tunggu...tunggu. Antum mau kemana?”
“Emm, aku mau pulang”
“Gak mungkin. Ayo kita masuk sama sama”
“Tapi aku gak mau. Aku gak suka yah di paksa-paksa”, ucapku dengan suara keras.
Suasana riuh menjadi lengang. Semua mata tertuju padaku, dengan muka tidak bersalah aku langsung meninggalkan Masjid tersebut.
Selang 15 menit kepergianku dari tempat ibadah itu, aku langsung berhenti. Entah apa yang terjadi padaku, seketika hatiku tergerak untuk putar balik lagi. Walaupun sebenarnya sudah sangat segan dengan semua orang, namun keberanianku jauh lebih besar daripada harga diriku.
Sampai di sana lagi-lagi aku jadi pusat perhatian. Topik pembicaraan mereka semua berubah ketika aku datang.
“Eh, itu bukan yang marah-marah gak jelas tadi?, bukannya masuk tapi malah kabur, aneh yah.”
Tidak peduli seberapa banyak orang yang menghujatku. Aku tetap fokus dengan tujuanku. Di sana, aku mendapatkan ilmu yang tidak pernah kudapatkan selama kuliah. Aku baru sadar, sebenarnya sikapku itu sensitif bukan apatis, egois bukan responsif, pemarah bukan pendiam. Selama ini, aku hanya menaksir orang dari sisi negatifnya saja. Aku jadi serba salah dengan orang di rumah. Dengan wajah lemas, aku lari pulang ke rumah dan ternyata sudah banyak orang mengerumuni rumahku. Aku kemudian masuk dan tiba-tiba,
“Kamu kemana aja nak? Lihat Ayahmu sudah tidak ada” ujar Ibu sambil menangis dan memelukku. Ternyata saat semua terasa jauh dariku, mereka dengan diam-diam menutup kabar tentang ayahku yang didiagnosa menderita penyakit jantung. Ini semua tak lain adalah perintah dari ayahku sendiri yang tak mau membuatku khawatir tentangnya karena tidak lama lagi aku akan segera ujian.
Setelah mendengar cerita dari kakakku, seketika diriku seakan tak mampu menopang ragaku lagi, air mata gugur berjatuhan sambil membasahi parasku, mulut tidak bisa bertutur lagi yang nampak hanyalah deru rintihan yang tak bisa kutangguhkan. Yang terlintas dalam benakku sekarang hanyalah penyesalan. Sosok pelipur lara yang sangat aku sayangi sudah mendahuluiku. Dia bak ponsel yang selalui siaga melayaniku tanpa mengharapkan imbalan, walaupun sedikit keras namun sejatinya hatinya luluh ketika melihatku bersedih. Yang mengajarkanku tentang arti kehidupan sesungguhnya, cara mencari nafkah yang tidak semudah memetik buah di pohonnya. Berani mengorbankan semuanya sekalipun nyawa menjadi taruhannya demi mutiara kecilnya, yah itu aku. Itu semua karena aku adalah anak bungsu yang sangat dekat diantara saudariku. Dengan hati pilu, aku langsung memeluk Ayah yang sudah berbalut kain kafan.
“Ayah.... Kenapa cepet banget ninggalin aku?. Aku belum sempat meminta maaf sama Ayah”, ujarku sambil menangis histeris.
Untungnya aku diperbolehkan melihat jasad beliau untuk terakhir kalinya. Kutatap rautnya yang hitam akibat sengatan matahari, keriput sudah menjelma di wajahnya, kumis dan jenggot yang tidak diindahkan lagi demi mempercantik para anak dan istrinya. Rupa yang dulunya berisi sekarang telah mengempis efek penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Kucium romannya seraya merintih sekeras-kerasnya. Kupeluk tubuhnya dengan kuat seakan jiwaku dengan jiwanya tidak mau bercerai. Hampir menyalahkan takdir namun itu bukan kewenanganku.
Apalah daya, nasi sudah jadi bubur. Semuanya terjadi karena kehendak Tuhan. Aku hanya berhajat semoga Ayah tenang di alam sana.
Bagai ayam bertelur di lumbung padi, sebuah perumpamaan untuk keluarga kecilku. Semenjak Ayah meninggal, sudah banyak kisah yang bisa ku ceritakan kepada kalian, yang dulunya saling mementingkan diri sendiri akhirnya sudah sangat harmonis walaupun cinta pertamaku sudah tidak ada lagi.
Keseharianku di kampus juga tidak sesuram dulu. Aku sudah bisa memahami watak seseorang, lebih pandai bergaul, lebih banyak bersyukur, simpatik, kutu buku, suka berbagi dan sekarang sudah agak sibuk kuliah dan kegiatan-kegiatan positif di luar kampus. Semuanya kulakukan dengan porsi yang pas.
Ini semua terjadi tak lain karena peristiwa di Masjid dulu. Kalau saja aku tidak kembali lagi, mungkin aku sudah tidak sejauh ini. Yah, aku mengikuti kajian wonderful muslimah. Kegiatan yang menurutku tidak bermanfaat itu kini menjadi sangat berarti bagiku dan terbukti kajian itu merubah hidupku.
Soal narasi yang kubuat dulu, kini telah menjadi sebuah buku yang berjudul “Sederet Kisah Untuk Negeriku” dan Alhamdulillah keuntungannya aku donasikan kepada jiwa yang aku silaukan malam itu. Aku sangat senang ketika mereka bisa tertawa riang sekedar melepas penderitaan akibat ulah tikus-tikus kantor.
Bukan hanya itu yang kulakukan untuk mereka. Namun, sedekah senyum juga merupakan salah satu dari banyaknya pengungkapan cintaku yang mampu menghangatkan suasana hati mereka dalam menjalani hidup. Selain itu, dengan senyum juga dapat memperlihatkan perasaan internal diri kita secara eksternal.
Mengapa demikian? Karena aku sudah membuktikannya. Dulu, ketika tekanan tugas yang datang silih berganti hingga membuatku hampir pesimis tiba-tiba ada teman yang lewat di depanku kemudian tersenyum. Dan entah kenapa aku menjadi bersemangat kembali dan itu hanya karena sebuah senyuman.
Jadi jangan pernah segan untuk tersenyum kepada orang lain sekalipun orang yang tidak kita kenal. Karena cinta kepada sesama manusia tidak harus berkorelasi dengan rasa. Lagipula senyum itu ibadah dan tentunya gratis namun sangat bermanfaat bagi kita dan utamanya orang lain. Sebuah prinsip dari mahasiswa psikologi nan bertubuh pendek, yah itu aku, Naila.
Di kampus, hampir setiap hari aku selalu disuguhkan dengan persoalan yang runyam. Mulai dari asmara, keluarga, persahabatan, dan lain-lain.
“Kak kak, emangnya ibu kita itu wataknya keras ya kak?”, tanya salah satu juniorku.
“Gak tau”, jawabku dengan singkat.
Aku sempat tersuntuk dengan mereka, memangnya anak psikologi adalah peramal?. Entahlah, semuanya akan terjawab dengan sendirinya.
Sebenarnya jurusan ini adalah pilihan orang tuaku. Itulah mengapa sudah 4 semester aku menjawat sebagai anak psikologi namun sampai sekarang aku belum piawai memahami karakter setiap orang. Aku lebih suka berangan-angan namun tak bisa kuwujudkan, lebih suka mengkritik namun sikapku acuh tak acuh sehingga tak banyak orang yang mau berteman denganku.
Suatu ketika aku sedang berjalan di taman dan tidak sengaja dilempari gulungan kertas.
“adduh....siapa itu?”, tanyaku sambil melirik kiri kanan
Namun, tak ada seorangpun yang menjawab. Aku risih dengan manusia, di tempat yang damai sekalipun mereka masih menyulutkan berbagai masalah yang tidak ada habisnya. Akupun mengambil gulungan kertas tersebut dan ternyata terdapat tulisan di dalamnya. Dengan wajah penasaran, aku kemudian duduk lalu membacanya.
“Wonderful Muslimah, merekatkan cinta dalam dekapan ukhuwah. Sabtu, 24 Maret 2018 di Masjid Raya Darussalam.”
Awalnya aku tertarik. Namun, melihat temanku yang sebagian besar berubah menjadi ibu-ibu setelah kajian tersebut jadi aku memutuskan untuk tidak ikut bergabung.
“Apaan sih, silaturahmikan tidak selamanya harus melalui kajian. Di hp jauh lebih baik kok daripada kegiatan yang tidak bermanfaat itu dan hanya membuang-buang waktu saja”, lirihku dalam hati sambil membuang gulungan kertas tersebut.
Aku lahir dari keluarga sederhana, tak banyak yang bisa kukisahkan dari mereka. Semuanya sama saja, egois dan jarang memerhatikanku. Untung saja aku orangnya apatis, tidak suka bergaul dengan orang lain dan lebih suka menyendiri hingga suatu ketika aku tidak betah lagi dengan limitasi yang terus mengusikku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Semua karena mereka, kalau saja mereka simpati kepadaku mungkin hal ini bisa saja tidak akan terjadi.
Walaupun sebenarnya tidak sudi meninggalkan mereka, namun aku terpaksa melakukan ini supaya mereka tau bahwa aku butuh perhatian.
Seperti ikan kena tuba, aku merasa sudah tidak berdaya lagi. Sepanjang perjalanan, yang kupikirkan hanyalah nasib insan-insan yang entah sampai kapan harus mendekam pada pahitnya roda kehidupan. Aku patut bersyukur dengan yang kumiliki sekarang namun aku menyia-nyiakan hal tersebut.
Langkah demi langkah akhirnya aku sampai di sebuah Masjid yang lumayan jauh dari rumah. Aku masuk ke dalam dan ternyata,
“Kok aku bisa sampai disini sih?” tanyaku sambil berbalik badan keluar dari masjid.
“Tunggu...tunggu. Antum mau kemana?”
“Emm, aku mau pulang”
“Gak mungkin. Ayo kita masuk sama sama”
“Tapi aku gak mau. Aku gak suka yah di paksa-paksa”, ucapku dengan suara keras.
Suasana riuh menjadi lengang. Semua mata tertuju padaku, dengan muka tidak bersalah aku langsung meninggalkan Masjid tersebut.
Selang 15 menit kepergianku dari tempat ibadah itu, aku langsung berhenti. Entah apa yang terjadi padaku, seketika hatiku tergerak untuk putar balik lagi. Walaupun sebenarnya sudah sangat segan dengan semua orang, namun keberanianku jauh lebih besar daripada harga diriku.
Sampai di sana lagi-lagi aku jadi pusat perhatian. Topik pembicaraan mereka semua berubah ketika aku datang.
“Eh, itu bukan yang marah-marah gak jelas tadi?, bukannya masuk tapi malah kabur, aneh yah.”
Tidak peduli seberapa banyak orang yang menghujatku. Aku tetap fokus dengan tujuanku. Di sana, aku mendapatkan ilmu yang tidak pernah kudapatkan selama kuliah. Aku baru sadar, sebenarnya sikapku itu sensitif bukan apatis, egois bukan responsif, pemarah bukan pendiam. Selama ini, aku hanya menaksir orang dari sisi negatifnya saja. Aku jadi serba salah dengan orang di rumah. Dengan wajah lemas, aku lari pulang ke rumah dan ternyata sudah banyak orang mengerumuni rumahku. Aku kemudian masuk dan tiba-tiba,
“Kamu kemana aja nak? Lihat Ayahmu sudah tidak ada” ujar Ibu sambil menangis dan memelukku. Ternyata saat semua terasa jauh dariku, mereka dengan diam-diam menutup kabar tentang ayahku yang didiagnosa menderita penyakit jantung. Ini semua tak lain adalah perintah dari ayahku sendiri yang tak mau membuatku khawatir tentangnya karena tidak lama lagi aku akan segera ujian.
Setelah mendengar cerita dari kakakku, seketika diriku seakan tak mampu menopang ragaku lagi, air mata gugur berjatuhan sambil membasahi parasku, mulut tidak bisa bertutur lagi yang nampak hanyalah deru rintihan yang tak bisa kutangguhkan. Yang terlintas dalam benakku sekarang hanyalah penyesalan. Sosok pelipur lara yang sangat aku sayangi sudah mendahuluiku. Dia bak ponsel yang selalui siaga melayaniku tanpa mengharapkan imbalan, walaupun sedikit keras namun sejatinya hatinya luluh ketika melihatku bersedih. Yang mengajarkanku tentang arti kehidupan sesungguhnya, cara mencari nafkah yang tidak semudah memetik buah di pohonnya. Berani mengorbankan semuanya sekalipun nyawa menjadi taruhannya demi mutiara kecilnya, yah itu aku. Itu semua karena aku adalah anak bungsu yang sangat dekat diantara saudariku. Dengan hati pilu, aku langsung memeluk Ayah yang sudah berbalut kain kafan.
“Ayah.... Kenapa cepet banget ninggalin aku?. Aku belum sempat meminta maaf sama Ayah”, ujarku sambil menangis histeris.
Untungnya aku diperbolehkan melihat jasad beliau untuk terakhir kalinya. Kutatap rautnya yang hitam akibat sengatan matahari, keriput sudah menjelma di wajahnya, kumis dan jenggot yang tidak diindahkan lagi demi mempercantik para anak dan istrinya. Rupa yang dulunya berisi sekarang telah mengempis efek penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Kucium romannya seraya merintih sekeras-kerasnya. Kupeluk tubuhnya dengan kuat seakan jiwaku dengan jiwanya tidak mau bercerai. Hampir menyalahkan takdir namun itu bukan kewenanganku.
Apalah daya, nasi sudah jadi bubur. Semuanya terjadi karena kehendak Tuhan. Aku hanya berhajat semoga Ayah tenang di alam sana.
Bagai ayam bertelur di lumbung padi, sebuah perumpamaan untuk keluarga kecilku. Semenjak Ayah meninggal, sudah banyak kisah yang bisa ku ceritakan kepada kalian, yang dulunya saling mementingkan diri sendiri akhirnya sudah sangat harmonis walaupun cinta pertamaku sudah tidak ada lagi.
Keseharianku di kampus juga tidak sesuram dulu. Aku sudah bisa memahami watak seseorang, lebih pandai bergaul, lebih banyak bersyukur, simpatik, kutu buku, suka berbagi dan sekarang sudah agak sibuk kuliah dan kegiatan-kegiatan positif di luar kampus. Semuanya kulakukan dengan porsi yang pas.
Ini semua terjadi tak lain karena peristiwa di Masjid dulu. Kalau saja aku tidak kembali lagi, mungkin aku sudah tidak sejauh ini. Yah, aku mengikuti kajian wonderful muslimah. Kegiatan yang menurutku tidak bermanfaat itu kini menjadi sangat berarti bagiku dan terbukti kajian itu merubah hidupku.
Soal narasi yang kubuat dulu, kini telah menjadi sebuah buku yang berjudul “Sederet Kisah Untuk Negeriku” dan Alhamdulillah keuntungannya aku donasikan kepada jiwa yang aku silaukan malam itu. Aku sangat senang ketika mereka bisa tertawa riang sekedar melepas penderitaan akibat ulah tikus-tikus kantor.
Bukan hanya itu yang kulakukan untuk mereka. Namun, sedekah senyum juga merupakan salah satu dari banyaknya pengungkapan cintaku yang mampu menghangatkan suasana hati mereka dalam menjalani hidup. Selain itu, dengan senyum juga dapat memperlihatkan perasaan internal diri kita secara eksternal.
Mengapa demikian? Karena aku sudah membuktikannya. Dulu, ketika tekanan tugas yang datang silih berganti hingga membuatku hampir pesimis tiba-tiba ada teman yang lewat di depanku kemudian tersenyum. Dan entah kenapa aku menjadi bersemangat kembali dan itu hanya karena sebuah senyuman.
Jadi jangan pernah segan untuk tersenyum kepada orang lain sekalipun orang yang tidak kita kenal. Karena cinta kepada sesama manusia tidak harus berkorelasi dengan rasa. Lagipula senyum itu ibadah dan tentunya gratis namun sangat bermanfaat bagi kita dan utamanya orang lain. Sebuah prinsip dari mahasiswa psikologi nan bertubuh pendek, yah itu aku, Naila.
Biodata Penulis
Nama : Miftahul Janna
Kelas : XII MIA Khusus
Kelas : XII MIA Khusus
Tempat tanggal lahir : Salodua, 24 Maret 2002
Hobi : Menonton dan Menulis
Tidak ada komentar